Kisah Sebuah Koper di Moskow

Seorang pemuda menyeret sebuah koper hampir sepanjang hayatnya. Pemuda itu adalah seorang mahasiswa Solo bernama Martinus Sugiharto. Isi koper itu adalah setumpuk tulisan asli sastrawan Utuy Tatang Sontani. Lalu kenapa Martinus rela membawa koper itu ke sana-kemari di Moskow, ke mana pun dia pergi, sebegitu berharganya bagi jiwanya sendiri?

Mahasiswa itu tengah menempuh pendidikan metalurgi di Kiev, kemudian pindah ke Moskow Uni Soviet itu, dan menganggap koper itu sebagai harta karun sastra Indonesia. Ia mengenal dan tahu siapa dan apa artinya seorang Utuy Tatang Sontani bagi sastra Indonesia. Ia nekat masuk ke bekas apartemen Utuy yang disegel. Dia mengumpulkan apa pun yang berbentuk kertas dan barang-barang pribadi Utuy dalam koper. Dia membawa koper itu ke mana dia pergi, pun ketika dia diasingkan selama belasan tahun ke Dushanbe, Tajikistan, karena menolak ber-koordinasi dengan perwakilan PKI di luar negeri. Kembali ke Moskow awal 1990-an, Martinus tetap menyimpan koper besar itu tanpa tahu harus menghubungi siapa.

Nama Utuy Tatang Sontani tidak bisa lepas dari barisan sastra eksil Indonesia, yaitu golongan sastra yang lahir dari mereka yang harus pergi dari tanah kelahirannya karena berbagai alasan, mulai dari pandangan politik yang berbeda sampai orientasi seksual yang belum bisa diterima masyarakatnya. Untuk Indonesia setelah periode Rustam Efendy di Belanda; kemudian Tan Malaka, Darsono, Musso, dan Semaun yang menerbitkan karyanya di Moskow dalam bahasa Rusia tahun 1920-an, jumlah penulis eksil Indonesia secara fenomenal menanjak sejak tragedi 1965.

Ketika tragedi itu terjadi, banyak penulis yang sedang berada di luar negeri kemudian menjadi penulis selama eksil. Karya-karyanya secara terbatas akhirnya sampai juga di Tanah Air sejak berkembangnya teknologi surat elektronik akhir abad lalu dan metode titip kawan yang kebetulan berkunjung ke luar negeri. Perlahan fenomena sastra eksil mulai menyembul dalam perbincangan sastra di Indonesia, dan pencarian lebih jauh tentangnya menjadi keharusan. Ketika penelitian "Sastra Eksil Indonesia" ini mulai dirancang, karya-karya Utuy yang dia tulis di Tiongkok (1965-1973) dan Moskow (1973-1979) menjadi salah satu target utama. Padahal informasi tentang Utuy sangat minim, selain berita kematiannya di Moskow. Sedangkan para eksil Indonesia yang masih bersisa di Moskow yang dihubungi lewat e-mail ternyata tidak banyak membantu. Di tanah eksil, Utuy menjadi semakin tertutup. Harapan lalu tumpah pada Kuslan Budiman, eksil Indonesia yang sekarang tinggal di Amsterdam. Kuslan yang juga pernah tinggal di Tiongkok adalah sahabat dan perawat Utuy sampai pemakamannya.

Dalam laporannya, Kuslan menulis: karena tidak ada wasiat dan ahli waris yang tertulis di dalamnya, apartemen Utuy dan seluruh isinya disegel polisi. Namun sebelum itu Vilen Sikorskii, akademisi Rusia ahli sastra Indonesia kontemporer yang selalu menjadi penerjemah Utuy, sempat datang mengambil naskah-naskah Utuy. Menghilang selama hampir 15 tahun dari dunia tulis-menulis Indonesia, nama Utuy Tatang Sontani muncul di harian pagi Kompas akhir September 1979, yang menulis berita kematiannya. Satyagraha Hoerip kemudian menulis in memoriam tentang dirinya di harian Sinar Harapan. Pemenang hadiah sastra BMKN untuk dramanya Sayang Ada Orang Lain ini menyisakan kejayaan sebagai sastrawan besar Indonesia ketika disemayamkan di aula utama Universitas Negara Moskow sebagai penghormatan terakhir pada salah satu guru besarnya. Sedangkan putra pertama Utuy hanya mendapatkan makam basah bapaknya, yang adalah nisan pertama yang tertancap di pemakaman Islam pertama di Moskow.

Padahal keluarga sudah berencana mengunjunginya tahun berikutnya, karena acara besar Olimpiade Moskow 1980 dapat dipakai untuk mengelabui fobi komunis Orde Baru. Proses pencarian kami tentang data penelitian sastra eksil Indonesia sampai ke perjalanan terakhirnya: Moskow. Kami bertemu dengan Vilen Sikorskii. Namun pertemuan dengan Sikorsii tak menggembirakan. Dia ingin menyerahkan sendiri naskah-naskah Utuy ke tangan orang yang akan dia pilih di Indonesia. Jadi, kalau ada keinginan agar naskah itu kembali ke Indonesia, harus disediakan tiket dan tentu uang saku untuknya. Bahkan kami tak diizinkan membuat fotokopi karyanya.

Salah satu malam sepulang dari perpustakaan bahasa asing Moskow, datanglah seorang tamu Indonesia. Setelah perkenalan singkat, dengan kecurigaan yang sangat berlebih tamu tersebut bertanya dengan sangat detail tujuan kami ke Moskow. Awal yang sedikit menjengkelkan ini ternyata berakhir dengan hebat. Sebab, tamu itu adalah Martinus Sugiharto, yang dalam dua jam pembicaraan telah memutuskan untuk menyerahkan koper itu untuk dibawa pulang ke Indonesia. Koper tersebut ternyata mendokumentasikan hampir seluruh kehidupan Utuy selama periode eksil: naskah-naskah gagal, proses editing, surat-surat, naskah yang sudah jadi, paspor, surat tugas dari Lekra, kacamata, jam tangan, peralatan melukis dan menulis, dan berlembar-lembar repro foto istrinya yang cantik. Rupanya inilah cara Utuy melawan rindu pada istri: dengan mencetak ulang satu-satunya foto yang dia miliki. Individualis yang terpesona dengan kolektivitas ini meninggal dalam kesendirian dan kekecewaannya yang sangat, namun tidak menghilangkan keyakinannya.

Alex Supartono Redaksi Media Kerja Budaya yang sedang menyusun antologi prosa eksil Indonesia

Comments

Popular Posts